
Review The Book of Ikigai
Review Buku The book of IKIGAI
Penulis : Ken Mogi, Ph.D.
Penerbit : Noura book
ISBN : 978 602 385 415 8
Cetakan ke-3 : April 2019
Rahma Safira – Ikigai adalah istilah bahasa Jepang. Kisah-kisah inspiratif Ikigai, contoh penerapannya dalam hidup dipaparkan banyak dalam buku ini.
Mulai dari halaman pertama sudah disuguhkan prinsip-prinsip Ikigai yang berupa 5 pilar.
Kelima pilar itu kemudian dipaparkan lebih detail dalam contoh-contoh yang nyata sehingga mudah dicerna pembaca. Contoh-contoh yang digambarkan benar-benar terjadi, sehingga terasa dekat dengan pembaca.
Kelima pilar Ikigai tersebut adalah:
a) Awali dengan hal yang kecil
b) bebaskan dirimu
c) keselarasan dan kesinambungan
d) kegembiraan dari hal-hal kecil
e) hadir di tempat dan waktu sekarang
Pertama kali melihat lima pilar itu, kesannya sangat sederhana bukan? Tetapi pasti ketika menghadapi situasi sulit, kelima poin itu tidak akan sesederhana seperti yang kita pikir di awal.
Akan ada situasi dimana sedang terhimpit atau tertekan, maka semua terasa sulit. Sedang mengerjakan apa, tapi pikiran entah ke mana. Begitulah kalau dirinya tidak bebas. Ada yang membelenggu, atau membebani.
Pilar 1 Ikigai
Pilar pertama yaitu awali dengan hal yang kecil. Jiro ono yang sekarang dikenal sebagai pemilik restoran sushi terkenal di Jepang, mengawali karirnya dengan perabotan yang sederhana. Memang pada saat itu untuk membuka restoran sushi biayanya lebih murah daripada membuka restoran jenis lain. Bagi Ono, membuka restoran sushi adalah upayanya untuk mencari nafkah saja. Kemudian dalam perjalanannya, Ono memberikan sentuhan-sentuhan khusus sesuai kebutuhan restoran sushi. Seperti membuat wadah khusus untuk sushi juga memperbaiki peralatan yang dia gunakan. Dengan modal ikigai yang ia punya, akhirnya bisa mengantar restoran sushinya menjadi seperti sekarang.
Sebenarnya kalau mau digali lebih dalam, hampir sama saja dengan ajaran-ajaran agama Islam. Awali dengan hal kecil, berarti adalah terus berusaha semampunya. Sebagaimana Allah menyuruh kita agar terus berusaha. Juga bersyukur atas apa yang dimiliki. Yap, mulai dari hal terkecil yang kita miliki adalah perwujudan rasa syukur atas apa yang telah kita terima.
Pilar 2 Ikigai
Bebaskan dirimu. Ini seperti menyuruh kita untuk ikhlas. Tenang. Baik pikir maupun jiwa. Jangan merasa terbebani. Buang semua beban. Mengapa kita harus merasa terbebani? Mengapa harus khawatir? Padahal ada Allah yang mengatur semuanya. Rezeki juga urusan Allah. Di saat kita merasa bebas, tidak ada tuntutan, maka kerja yang dilakukan akan menjadi sepenuh hati dan hasil karya juga akan lebih punya kekuatan. Terkadang dengan perasaan bebas itu, kekuatan atau pesan yang dimaksud bisa sampai pada penikmat karyanya dengan baik.
Tugas kita kan hanya berusaha. Memang benar ada alurnya sebuah pencapaian, yaitu niat-usaha-hasil. Tapi tidak melulu begitu, karena niat dan usaha itu sepenuhnya bagian manusia. Sementara hasil itu bagian Allah yang menentukan.
Pilar 3 Ikigai
Keselarasan dan kesinambungan. Pilar ini bercerita tentang ikigai yang hidup dari niat untuk menjaga sesuatu tetap selaras, lestari dan berkesinambungan. Contohnya adalah kuil Ise di Jepang. Kuil Ise selalu mengalami pembangunan kembali secara berkala. Setiap 20 tahun, bangunan kuil itu dibongkar. Kemudian dibangun lagi dengan menggunakan bahan-bahan yang sama juga cara yang sama dalam membangunnya. Proses pembagunan ulang setiap dua dekade telah berlangsung selama 1200 tahun terakhir, kecuali bila ada peperangan atau persoalan sosial.
Demi menjaga kelestarian kuil agar sama persis seperti awal dibangun, persiapan bahan-bahan yang akan digunakan juga dilakukan sejak jauh hari. Contohnya, pohon hinoki (cemara Jepang) harus ditanam beberapa dekade sebelumnya untuk menghasilkan balok-balok kayu pada bangunan kuil. Bahkan ada juga fungsi yang hanya bisa dipenuhi oleh pohon hinoki berumur lebih dari 2 abad.
Teknik yang digunakan dalam membangun kuil juga khusus. Tidak menggunakan paku satu pun. Maka dari itu, dukungan dan pelatihan tukang kayu terampil yang didedikasikan untuk pembangunan kuil merupakan bagian penting bagi kelestarian kuil ise.
Pembuatan dan perancangan adalah satu hal. Pemeliharaan latar aslinya selama ratusan tahun adalah hal lain lagi. Dapat dibayangkan kuil ise bertahan selama ratusan tahun sementara tukang yang mendirikan, pemerintah yang berkuasa sudah berganti-ganti.
Prestasi hebat Kuil Ise adalah perwujudan kelestarian. Kesederhanaan dan kerendahan hati para pekerja kuil ise di balik latar pekerjaan hebat yang dilakukan mereka beserta para pendahulu selama sekian tahun, menjadikan kuil ise sebagai simbol yang samgat jelas bagi pilar ketiga ikigai, keselarasan dan kesinambungan.
Di Jepang sendiri, keselarasan dan kesinambungan ini juga diperkuat dengan adanya pengekangan dan pengendalian diri. Orang Jepang sangat menjunjung toleransi dan bahasa mudahnya “peka”. Saat pegulat sumo bertanding, tentunya pasti ada yang menang dan kalah. Pegulat sumo yang menang tidak akan terlalu terlihat bersuka cita dengan kemenangannya, itu karena kebutuhan untuk menjaga perasaan pegulat yang kalah.
Pilar 4 Ikigai
Kegembiraan dari hal-hal kecil. Mewujudkan kebahagiaan dari hal-hal kecil akan memunculkan ikigaimu sendiri. Contoh yang paling lekat, setiap bangun pagi di Jepang terdapat kebiasaan untuk menikmati sesuatu yang manis di pagi hari, secara tradisi teh hijau. Walaupun kini semakin tergantikan oleh kopi atau teh hitam. Tidak hanya di Jepang, kebanyakan orang di belahan dunia yang lain juga suka mengawali pagi mereka dengan minuman manis entah itu cokelat atau kopi, selain teh tentunya. Dengan minuman tersebut, dopamin akan dilepaskan dari otak anda dan menguatkan tindakan Anda untuk bangun dan menerima imbalan Anda (teh, cokelat atau kopi).
Pilar 5 Ikigai
Hadir di tempat dan waktu sekarang. Mungkin merupakan hal yang paling mendalam dari kelima pilar. Orang-orang di Jepang banyak menaruh perhatian pada hal yang bagus. Tapi juga meyakini bahwa itu fana. Sebagai contohnya kecintaan pada bunga sakura yang mekar saat musim semi. Mereka menikmati momen itu. Tapi secara sadar juga mereka tau bahwa itu tidak akan lama. Sehingga mereka benar-benar menghargai momen tersebut.
Membebaskan diri (pilar kedua ikigai) sangat berhubungan dengan kehadiran diri di tempat dan waktu sekarang (pilar kelima ikigai). Seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan benar-benar menghadirkan dirinya akan menghasilkan karya yang benar-benar bagus. Walt disney adalah salah satu pahlawan lain yang menunjukkan kemampuan menghadirkan diri di tempat dan waktu sekarang. Dia telah menghasilkan animasi dalam kondisi mengalir (flow). Hal tersebut bisa dilihat dari kualitas warisan karyanya. Kesuksesan mendapat 59 nominasi Oscar dan 21 oscar tentunya tidak akan didapat tanpa keinginan menenggelamkan diri dalam pekerjaan animasi yang sangat rumit dan menghabiskan banyak waktu. Setiap peluang itu istimewa. Itu sebabnya, bangsa Jepang memperlakukan detail terkecil dari ritual apa pun seakan-akan itu masalah hidup dan mati. Ada konsep bangsa Jepang, ichigo ichie (secara harfiah berarti “satu waktu, satu pertemuan”) yang berasal dari tradisi minum teh. Ichigo ichie adalah apresiasi bagi karakter fana dari pertemuan dengan apa pun, baik itu dengan orang, benda atau peristiwa.
Kesadaran akan hal-hal fana yang hanya terjadi sekali dalam hidup membuat bangsa Jepang memperhatikan hal-hal detail pada suatu peristiwa. Karena peluang itu istimewa. Maka pentingnya unuk menghadirkan diri di tempat dan waktu sekarang.
Menghadirkan diri saat melakukan sesuatu juga menunjukkan rasa bersyukur terhadap apa yang sedang dijalani, dan juga tawakkal kepada Allah untuk hasil yang akan didapat. Ini mirip dengan konsep untuk menyegerakan kebaikan. Setiap kesempatan untuk melakukan kebaikan sebaiknya segera disambut. Karena kita tidak tahu apakah ke depan kita akan temukan kemudahan itu lagi atau tidak. Yakin bahwa jika yang kita usahakan baik, maka setelahnya insyaallah akan baik juga. Tidak perlu khawatir dengan apa yang akan terjadi esok. Karena sungguh tidak ada satupun manusia yang tau akan terjadi apa besok (و ما تدري نفس ما ذا تكسب غدا).
Ikigai, Prinsip Bahagia dari Jepang
Kelima poin itulah Ikigai, yang menjadi nilai-nilai bangsa Jepang. Itu seperti sebuah tradisi atau nilai dasar dari bangsa Jepang. Tapi bukan berarti itu hanya untuk bangsa Jepang. Tidak semua belahan di dunia memiliki nilai-nilai dasar kuat seperti itu. Mungkin hanya terdapat segelintir orang di bagian-bagian negara tersebut yang sebenarnya sudah memiliki kelima pilar ini dalam kesehariannya. Hanya saja karena iklim atau tradisi di daerahnya tidak seperti itu, maka sulit bagi dia untuk mempertahankan atau bahkan meyakini nilai tersebut.
Oleh karena itu buku ini hadir untuk lebih meresmikan bahwa nilai-nilai itu ada dan baik untuk kebahagiaan orang-orang. Nilai-nilai ini juga yang membantu bangsa Jepang keluar dari segala macam kesulitan. Sebagaimana kita tau bahwa Bangsa Jepang pernah mengalami peristiwa besar beberapa kali yang yang menewaskan ratusan ribu warganya juga menghancurkan bangunan dan peradaban di Jepang. Tapi dengan waktu yang tidak lama bangsa Jepang mampu bangkit lagi. Bahkan tidak terlihat bekas-bekas bencana/kerusuhan pada daerah yang dulunya pernah mengalami hal tersebut.
Contohnya pada 1707 Gunung Fuji meletus selama 2 minggu. Meskipun tidak ada korban jiwa yang tercatat, tapi abu vulkanis menutupi seluruh area dan mencapai Tokyo (disebut Edo pada masa itu) dan menimbulkan kerusakan besar pada lahan pertanian. Hanya 49 hari sebelum erupsi gunung fuji, terjadi gempa bumi hebat dan tsunami menerjang wilayah Barat Bangsa Jepang. Mengakibatkan nyaris 20.000 kematian. Gempa bumi Kanto Besar tahun 1923 menerjang area sekitar Tokyo, mengakibatkan kematian 100 ribu jiwa. Selain bencana alam, ada juga peristiwa bencana buatan manusia. Rumah – rumah di Jepang secara tradisi terbangun dari kayu sehingga jika ada kebakaran, dengan mudah api menjalar ke banyak daerah sekitarnya. Kebakaran Meireki pada 1657 meluas ke wilayah Edo. Tersulut angin kencang, api berkobar selama tiga hari dan membinasakan 70% kota. Menewaskan 100.000 orang. Menara utama istana Edo, hangus terbakar dan tak pernah dibangun kembali selama era Edo yang berlangsung hingga 1867.
Pengeboman Tokyo pada Perang dunia kedua membuat kehancuran besar menimpa ibukota khususnya pada 9 dan 10 Maret 1945, menewaskan 100.000 orang. Sangat tragis, bila kita mengingat bahwa itu terjadi kurang dari 22 tahun setelah kehancuran yang diakibatkan gempa bumi Kanto Besar tahun 1923 yang memusnahkan wilayah persis sama.
Jika berdiri di tengah Kota Tokyo sekarang, tidak akan ditemukan bekas-bekas kehancuran tersebut kota Tokyo mengalami kemakmuran dan kedamaian sama seperti kota-kota lainnya.
Dari mana Jepang mendapatkan kekuatan untuk bangkit seperti itu?
Singkatnya adalah dari penekanan kelima pilar ikigai ini. Menurut bangsa Jepang sendiri, kekuatan tersebut berasal dari nilai-nilai keagamaan bangsa Jepang yang mempercayai 8 juta dewa. Mengapa 8 juta Dewa? Artinya adalah tidak terbatas, terdapat banyak dewa-dewa di sekeliling mereka. Baik itu pada tanaman, hewan bahkan alat-alat rumah tangga. Keyakinan yang tersirat adalah kebutuhan untuk memberi penghormatan pada barang tersebut. Tidak heran jika banyak bangunan atau karya istimewa yang bertahan di Jepang. Karena orang-orang di sana memperlakukannya dengan baik.
Prinsip Ikigai walau dari Jepang, tapi bukan berarti kamu orang Indonesia tidak bisa memiliki prinsip-prinsip tersebut. Jadi, selamat menemukan ikigaimu sendiri! 🙂
Jangan lupa bersyukur dan bahagia.
Comments
Pilar Ikigai dari Jepang ini hampir selalu saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari, berangkat dari suka anime, akhirnya kepo dengan budaya masyarakat Jepang yang bisa dibilang selalu optimis—dengan mengesampingkan angka bunuh diri, ya—terutama waktu expert mereka untuk memperbaiki segala hal yang hancur dalam sesaat. Ini perlu diterapkan, bisa menghadapi dunia dengan sisi positifnya.
Ikigai ini semacam cerita2 motivasi gitu ya. Hal-hal yang dapat menginspirasi pembaca. Aku juga suka membaca buku non-fiksi seperti ini, dapat mengembangkan kepribadian.
Orang Jepang memang terkenal punya berbagai prinsip hidup, selain Ikigai ini ada pula namanya Kaizen dan sebagainya. Cara mereka hidup patut dipelajari, hanya saja cukup ambil yang baiknya saja, kalau yang tidak cocok dengan budaya dan norma agama bisa kita kesampingkan saja
Jepang selalu punya cerita istimewa tentang kebudayaan maupun perilaku masyarakatnya. Sangat menarik!