Cerpen dan Puisi

Disangka Sandiwara

Rahma Safira – Sudah hampir tiga tahun Farhan sekolah di SMA yang letaknya di tengah kota. Sudah sejak lama juga ia melihat seorang ibu tua (yang lebih layak dipanggil nenek karena dari umurnya sudah layak untuk memiliki cucu) berjualan di bawah pohon beringin di depan sekolahnya. Farhan memiliki kebiasaan yang tidak disengaja setiap pagi. Ia selalu melihat nenek itu. Sang Nenek hampir setiap hari datang ke bawah pohon beringin tua di depan sekolahnya. Di tangannya membawa beberapa kantung plastik yang penuh berisi dagangan.

Terlintas pikir di benak Farhan. Bagaimana bisa nenek itu terus berjualan? Padahal dagangannya juga kurang menarik bagi anak-anak sekolah. Sempat Farhan melihat sedikit ke plastik-plastik milik nenek itu. Isinya hanya jajanan berupa kue basah dan beberapa makanan kering yang jarang diminati anak sekolah. Mengapa nenek itu bertahan untuk berjualan?

Ah! Farhan tak mau ambil pusing. Seringkali ia berpikir mungkin nenek itu hanya bersandiwara saja agar dikasihani. Agar banyak orang yang iba kemudian banyak yang menyantuni dia. Tidak hanya pada nenek itu. Farhan juga mengira para pemulung ibu-ibu atau bapak-bapak yang terlihat kelelahan, mereka juga sandiwara di mata Farhan. Seorang bocah lelaki memanggul karung penuh rongsokan berjalan tertatih, Farhan pikir itu hanya sandiwara. Agar banyak yang iba, agar banyak yang menyantuni dia. Farhan seringkali ditipu oleh ibu-ibu berkerudung yang mengaku dari perwakilan masjid minta sumbangan. Ada juga bapak-bapak yang mengaku sebagai perwakilan sebuah panti asuhan dan meminta sumbangan. Ada juga anak kecil bocah lelaki yang membawa map surat atau kotak infaq meminta sumbangan, Farhan pikir mereka semua sandiwara. Terlalu banyak kebohongan di dunia ini. Bagaimana mungkin mereka seenaknya meminta-minta dan memasang tampang iba lalu mendapat banyak uang tanpa usaha?

Sehingga setiap melewati mereka, Farhan tak peduli. Ia hanya lewat. Melewati pemulung berpura-pura tak melihat. Dihampiri bapak-bapak peminta sumbangan, ia mengangkat tangan dan berucap maaf. Melewati ibu –ibu yang berjualan sambil menawarkan dagangannya, “Dek kuenya nih dek”, Farhan hanya melirik sekilas. Ia pikir mereka semua sandiwara. Sandiwara untuk dikasihani.

Farhan bukanlah orang yang kaya. Farhan juga bukan orang yang miskin. Ibu Farhan, Ibu Rum, bekerja sebagai pemasok kue-kue basah di warung-warung dekat rumahnya. Ia membuatnya sendiri. Ayah Farhan sudah tidak ada sejak Farhan kelas 7 SMP. Farhan memiliki 2 adik. Adik pertama kelas 9 SMP dan adik kedua kelas 3 SD. Farhan termasuk siswa berprestasi di sekolahnya. Ia sering mendapat beasiswa. Sehingga sangat membantu ibunya dalam meringankan SPP sekolah Farhan. Penjualan kue ibunya juga cukup untuk sekadar menghidupi Farhan dan adik-adiknya.

Suatu saat penjualan Ibu Rum sedang menurun. Toko-toko yang biasa dipasok kuenya oleh Ibu Rum, kini mendapatkan pasokan kue juga dari yang lain. Sehingga seringkali banyak kue yang tidak laku terjual. Bagi Farhan dan adik-adiknya, memakan kue sisa dagang ibunya yang tidak laku adalah suatu kebahagiaan. Karena kue buatan ibunya sangat enak dan mereka hanya dibolehkan makan saat kue itu tidak laku terjual. Tapi jika jumlahnya banyak seperti ini, mereka juga sedih. Akhirnya Farhan diminta ibunya untuk berjualan kue juga di sekolah. Selama ini Ibu Rum tidak pernah melibatkan anak-anak dalam berjualan. Tapi kali ini berbeda. Mau tidak mau Ibu Rum harus melebarkan sayap usahanya.


Farhan berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya karena sekarang ia membawa kue dagangan. Di jalan, Farhan kembali melihat nenek tua itu. Ia masih berjalan menuju sekolah Farhan. Farhan tidak mau berpapasan. Ia kemudian mengambil jalan menyebrang. Sesampainya di sekolah, Farhan masuk ke warung sekolahnya.

“Bu, ini saya mau titip dagangan kue ibu saya di sini. Boleh, Bu?“
“Ooh, iya silahkan,”

Farhan lalu menuju kelas. Kali ini dia lihat nenek tadi sedang menata dagangannya. Dia duduk di bawah pohon beringin yang tumbuh di depan gerbang sekolah Farhan. Sekolah Farhan memang ramai. Dekat dengan sekolah SMP dan juga SD. Sehingga banyak sekali para penjual di luar gebang. Anak anak sekolah juga tetap saja ada yang memilih untuk jajan di luar sekolah saat istirahat, walaupun sudah ada kantin.

Bel pulang berbunyi. Kali ini Farhan punya kebiasaan lain. Sepulang sekolah dia harus ke kantin untuk mengecek dagangan kue ibunya, dan membawa sisanya jika masih banyak.
“Bu, kuenya habis?,” tanya Farhan.
“Ooh ini habis nih.. jajanan baru jadi banyak anak yang suka. “
“Terima kasih banyak, Bu”, Farhan pulang.

Saat keluar dari gerbang sekolah, Farhan melihat nenek itu. Dia masih di bawah pohon beringin bersama dagangannya. Sambil sekali-kali menawarkan ke anak sekolah yang lewat di dekatnya. Menawarkan sekadarnya. Karena ia lelah menawarkan atau memang tidak terlalu optimis bahwa akan ada yang membeli.
“Neng, kuenya Neng.”
“Dek kue nya Dek,” kata nenek itu ketika Farhan lewat di depannya.

Farhan tersenyum tipis dan menggeleng. Dalam hati Farhan, aku juga sama-sama jualan kue nek. Masa tukang kue beli kue. Farhan terus berjalan pulang.

“Assalamualaikum, Bu. Farhan pulang,” kata Farhan.
“Waalaikumsalam warohmatullah. Gimana Nak, kuenya? Habis?”
“Alhamdulilllah, habis Bu,” jawab Farhan.
“Alhamdulillah. Soalnya kue yang dibawa dua adikmu masih sisa. Dan kamu juga tau sendiri kalau kue ibu di warung sini sudah menurun pamornya,” kata Ibu Rum. Senyuman terbit di bibirnya.

Aku harus bisa membantu ibu mencari uang. Walaupun spp ku sudah ditanggung sekolah, tetap saja ada biaya lain yang tak bisa dihindari. Setidaknya aku harus bisa cari uang untuk jajanku sendiri juga keperluan buku-buku.

Farhan berangkat sekolah dengan membawa kue ibunya seperti biasa. Begitu terus, hingga satu bulan berlalu. Setiap hari Farhan membawa kue milik ibunya. Tapi semakin hari juga pamor kue ibunya pun menurun di warung sekolah Farhan. Maklum jajanan sekolahan seharusnya lebih menarik. Kue-kue basah seperti ini sedikit sekali yang suka. Hanya di awal saja anak-anak tetarik untuk membeli.

Semakin hari ongkos jajan Farhan pun semakin menipis. Tidak hanya ongkos jajannya. Tapi juga makanan di rumah semakin sedikit. Ibu Rum harus menghemat agar tetap bisa menggulirkan modal untuk membuat kue, sehingga tetap ada pemasukan walaupun sedikit. Jangan sampai uang modal terpakai. Ibu Rum menasihati Farhan.
“Nak, maaf ya. Uang jajanmu harus dipotong. Kamu juga tau sendiri bagaimana dagangan ibu sekarang. Sama juga dengan ongkos adik-adikmu. Kamu bantu doa ya biar segera ada jalan keluar buat usaha ibu ini.”
Farhan tersenyum dan mengangguk. Mencoba menguatkan ibunya.

Kemarin, Farhan masih berjualan kue dan ia masih acuh terhadap nenek penjual kue di sekolahnya. Namun hari ini lain. Farhan masih berjualan kue tapi Farhan melihat nenek itu dengan tatapan berbeda. Farhan berpikir ulang.
Hey, bukankah nenek itu sudah berjualan sejak aku masuk sekolah ini?Artinya nenek itu sudah berjualan selama 3 tahun dan begitu terus setiap hari. Jangan–jangan sebelum aku masuk sekolah ini pun nenek itu sudah berjualan di sini. Jadi mana mungkin ini sandiwara?

Iseng Farhan bertanya pada pak satpam di sekolahnya. Farhan aktif ikut ekstrakurikuler saat kelas 11, sehingga cukup kenal dekat dengan pak satpam.
“Halooo pak!.. Gimana kabarnya nih? Jangan ngelamun terus dong,”
“Eh, Farhan. Baik, baik. Kabar baik. Ah, gak juga. Lagi duduk aja. Capek dari tadi mondar-mandir. Kamu gimana kabarnya?”
“Baik, Pak. Oya, Pak. Mau tanya, Bapak tau nenek yang suka jualan di bawah pohon beringin itu? Sejak sebelum Farhan masuk sekolah ini apa nenek itu sudah berjualan di situ pak?,” tanya Farhan.
“Oh.. iya Dek. Nenek itu udah lama jualan disitu. Dari tahun berapa ya. Waduh saya juga gak merhatiin. Sekitar 5 tahunan mah ada kayanya,”
“Oh.. berarti sudah lama ya Pak.”
“Iya. Eh itu kamu bawa apa tuh?,” kata Pak Satpam sembari mengintip-ngintip keranjang yang dibawa Farhan.
“Ini dagangan Ibu saya, Pak. Sekarang Ibu saya juga ikut mengisi kue ke kantin sekolah. Tapi ini masih sisa, belum habis. Mau saya bawa pulang. Bapak mau?,”
“Wah boleh deh. Sini Bapak beli 3 ya,”
“Siaaap, Pak,” Farhan membungkus kue yang diinginkan Pak Satpam.

Ia kasih bonus 1 kue lagi ke pak satpam. Lagi pula Farhan yakin di rumah juga akan banyak kue sisa yang belum habis terjual. Dari pada tidak termakan dan terbuang begitu saja lebih baik dikasih ke pak satpam.
“Waduh dapat bonus juga nih. Makasih ya, Dek. Kamu emang anak yang soleh. Udah pinter, rajin bantu orang tua, baik lagi saya di kasih bonus. Hehe”
‘Iya Pak sama sama. Doain ya Pak biar dagangan saya laku banyak,”
“Iya Dek. Saya doain. Pasti banyak laku, Dek. Kuenya enak,” kata Pak Satpam sambil makan kue yang baru ia beli dari Farhan.
“Saya pamit pulang dulu ya, Pak,” kata Farhan.

Farhan berpikir. Sudah lima tahun nenek itu berjualan, dan setiap hari begitu. Jarang pembeli. Anak sekolah lebih suka jajan di tempat lain. Dagangan nenek itu juga kurang menarik. Memang Farhan dan nenek itu sama-sama menjual kue. Tapi kue basah Farhan telah dimodifikasi ibunya sehingga lebih menarik di pasaran dan harapannya lebih disukai anak-anak muda. Tapi tetap saja kue Farhan itu juga lama-lama kurang laku. Apalagi dagangan nenek itu? Tapi kenapa nenek itu berjualan terus? Hey, kemana ya suami dan anak-anaknya?

Farhan terus berpikir sambil jalan. Mana mungkin seorang nenek kuat bersandiwara setiap hari selama bertahun-tahun? Jika memang iya, maka peran yang ia jalankan cukup berat bagi seorang nenek. Ia harus berjalan cukup jauh untuk menggendong barang dagangannya. Kemudian berjualan dengan kemampuan menawarkan yang pas-pasan, sehingga jarang sekali orang yang berminat beli, kecuali karena iba. Barang dagangannya juga kurang menarik. Dan saat pulang ia juga masih harus memikul barang dagangan yang seringkali hampir sama saja dengan barang yang ia bawa saat datang. Hey mana mungkin ini sandiwara Farhan?!
Farhan melihat ke arah nenek itu. Dia masih disana. Ah, masih jam 1 siang. Tadi aku tidak jajan. Mungkin lebih baik aku membeli sedikit dagangan nenek itu. Masa iya selama tiga tahun disini aku tidak pernah membeli dagangan nenek itu sekalipun? Selama ini Farhan tidak terlalu memperhatikan, dan uang jajan dia juga sedikit.

Farhan mendekati si nenek. Kali ini nenek itu tidak menawari Farhan, padahal Farhan sudah dekat dengannya. Sepertinya dia sudah lelah.
“Nek.. ada kue apa saja Nek?”, kata Farhan
“Eh, Adek.. Nih, Dek.. ada teng-teng, ada kacang asin, ada pastel abon. Sok mau yang mana.. dipilih,”
Ternyata memang jajanan pasar sekali. Mana mungkin anak sekolahan suka yang seperti ini. Paling mungkin yang bisa ditolerir hanya kacang asin.
“Kalau pastel abon berapa, Nek?’
“Pastel sepuluh ribu, teng-teng lima ribu, kacang asin 1000an, dek,”
Waduh pastel abonnya mahal juga. Uangku hanya lima ribu. Memang pastel abon agak mahal sih karena isinya abon, lumayan enak.
“Saya beli kacang asin saja Nek, lima,”
“Alhamdulillah… Nih Dek silahkan,”
“Terima kasih, Nek,”

Farhan kemudian mengambil tempat di samping si Nenek. Dia menaruh dagangannya dan membuka satu bungkus kacang yang baru dibeli. Ia memang berniat untuk mengajak ngobrol si Nenek. Sambil makan kacang, ia mulai melontarkan beberapa pertanyaan pada Nenek itu.
“Nek udah lama jualan kaya gini?”
“Udah Dek.. udah lama saya mah. Udah sekitar 10 tahun kali ada,”
“Oh, rumah Nenek dimana?”
“Rumah saya di Jalan Sukamiskin. Naik angkot 1 kali dari gang depan,”
“Lumayan yah Nek. Saya juga jualan kue nih, Nek. Nek, mau coba? Gratis buat Nenek mah. Ambil aja mau yang mana. Kuenya ga habis tadi waktu jualan,”
“Gak Dek, gak usah. Saya juga bawa bekal makan,” jawab Nenek itu.
“Ngga apa-apa, Nek. Coba nih. Yaudah saya pilihin ya, Nek.”
Farhan mengambil risol isi daging, bolu gulung dan kue cokelat buatan ibunya itu.
“Aduh Dek, jualan saya belum laku banyak. Ga usah. Saya juga bawa bekal sendiri. Nanti saya ga punya ongkos kalau beli kue adek,”
“Ngga apa-apa, Nek. Ini gratis..”
Nenek itu telihat senang dan langsung dimakannya kue dari Farhan.
“Sekarang mah jualan makin susah ya, Dek. Yang beli dagangan saya sedikit. Padahal saya juga harus setor ke yang bikin makanan ini. Belum juga buat ongkos dan makan sehari-hari,” cerita Nenek itu.
Dalam hati Farhan berpikir. Iya, Nek. Apalagi kalau jualan nenek seperti ini, anak sekolah kurang tertarik.
“Iya, Nek. Sepertinya dagangannya kurang diminati anak sekolah, Nek, dan banyak tukang dagang yang lain juga,” hati-hati Farhan menimpali. Ia ingin nenek itu tau juga bahwa kenyataannya memang seperti ini.
“Nenek sendirian di rumah?,” tanya Farhan.
“Iya saya sendiri. Suami saya sudah meninggal. Sakit liver. Anak anak saya juga pada jauh. Mereka sama-sama susah. Jadi ya saya ga bisa ngandelin mereka. Saya jadi jualan juga kaya gini.”
“Kenapa Nenek milih jualan ini, Nek? Ngga yang lain aja mungkin?,”
“Saya mau jualan apalagi, Dek. Ini juga udah untung ada tetangga deket yang produksi dan mau dijualin sama saya. Segini juga Alhamdulillah. Jadi saya ada sumber penghasilan walaupun sedikit. Setidaknya saya ga perlu minta-minta Dek. Saya mau usaha,”
Deg! Farhan terhenyak. Ia tidak menyangka bahwa Nenek ini juga punya harga diri yang tinggi. Ia tidak mau dikasihani. Ternyata selama ini aku telah berburuk sangka.

Farhan pulang. Sepanjang jalan ia menyesal akan segala pikirannya dahulu. Menyangka orang-orang itu hanya sandiwara.
Farhan merenung. Dia menyesal sempat berpikiran buruk. Pada nenek penjual itu, pada bocah laki-laki pemulung sampah, pada ibu-ibu peminta sumbangan, hingga bapak-bapak yang mengaku dari panti asuhan. Terlepas dari apa sesungguhnya motif mereka dibalik itu semua. Satu kepastian adalah, mereka dalam keadaan susah! Jika pun mereka bohong, tapi tetap ada satu kejujuran nyata yang bisa dengan mudah dilihat. Bahwa mereka sedang susah! Mereka butuh uang, mereka kekurangan dan mereka perlu dibantu.

Di saat Farhan juga merasakan sulit. Hatinya menjadi lebih terbuka.
Ah apa aku harus mengalami kesulitan seperti ni dulu baru aku sadar? Kemana saja pikiranku selama ini. Apa mata hati ku telah tertutup?
Memang seringkali kenikmatan membuat manusia terlena. Membuat orang lemah seperti aku tertipu dan menutup mata pada kenyataan di sekitarku. Yang jelas mereka bukan sandiwara. Mereka itu nyata. Mereka itu realita.

***

Author

rahmasaf@rahmasafira.com
Hidup adalah anugerah. Kita hanya perlu terus berusaha, berproses dan yakin. Hasil sudah ranahnya Yang Maha Kuasa. Tapi kita sangat boleh berdoa. Jangan lupa kawal doa-doa itu dengan sholawat.

Comments

January 17, 2020 at 5:58 AM

Han, pengalamanku kebalikanmu. Jual koran 3k dikasih selembar 10k langsung ngabur, yakin banget kalo org gak bakal minta kembalian. Haha duniaaa



February 3, 2020 at 11:37 AM

Aku cuma pernah jualan es keliling dulu waktu masih SD 😁, pulang sekolah langsung jualan, sambil bawa tas isinya buku. Ketika capek, keliling memilih istirahat dibawah pohon sambil baca buku haha



Bagaimana komentarmu? :)

%d bloggers like this: